KITAB WAHYU
1. Wahyu
Kitab Wahyu kepada Yohanes (singkatnya Kitab Wahyu) adalah kitab terakhir dalam kanon yang menutup sejarah Perjanjian Baru dalam Alkitab Kristen. Kitab ini juga merupakan sebuah kitab Kristen yang berisikan penglihatan, lambang, tanda, bilangan, serta hal-hal yang berkaitan dengan pengajaran Tuhan kepada bangsa Yahudi. Selain itu, Kitab Wahyu merupakan salah satu kitab yang sulit dipahami dalam Alkitab sehingga menimbulkan banyak penafsiran atasnya. Pada abad 2 Masehi, orang Kristen memiliki pemahaman bahwa kitab Wahyu adalah kode simbolis yang meramalkan orang-orang atau peristiwa-peristiwa tertentu yang mengantar pada akhir zaman.
2. Kepenulisannya
Penulis kitab ini menyebut nama Yohanes, sebagai "saudara dan sekutumu dalam kesusahan, dalam Kerajaan dan dalam ketekunan menantikan Yesus, berada di pulau yang bernama Patmos oleh karena firman Allah dan kesaksian yang diberikan oleh Yesus. Sejumlah pakar menganggap penulisnya adalah rasul Yohanes bin Zebedeus
o Wahyu sebagai Sastra Apokaliptik
Sastra apokaliptik adalah jenis tulisan mengenai penyataan Ilahi yang berasal dari masyarakat Yahudi kurang lebih antara tahun 250 SM dan 100 M yang kemudian diambil alih dan diteruskan oleh Gereja Kristen. Sastra Apokaliptik sendiri muncul setelah kemerosotan peran kenabian di Israel dan tekanan dari situasi politik yang dialami bangsa Yahudi pada periode Helenistis. Banyak penulis sastra apokaliptik yang menuliskan karya-karyanya penuh misteri dan menggunakan nama-nama tokoh terkenal pada masa lampau yang kemudian menjadi daya tarik dari sastra apokaliptik itu sendiri. Ciri lain yang penting dari sastra apokaliptik adalah penggunaan simbol-simbol, penekanan pada sosok malaikat, dan menunjuk pada sesuatu zaman keselamatan
Asal usul Kata Apokaliptik
Kata "apokaliptik" berasal dari bahasa Yunani yang artinya "menyingkapkan" atau " membukakan" dan merujuk pada sesuatu yang sebelumnya tersembunyi dan sekarang telah disingkapkan sekarang. Kata "apokaliptik" sebetulnya merupakan suatu ungkapan dari gereja Kristen abad ke-2 untuk jenis sastra yang dipakai dalam surat Wahyu kepada Yohanes di Perjanjian Baru. Dari sinilah kata "apokaliptik" kemudian menjadi sebutan untuk gaya penulisan yang banyak menggunakan simbol, seperti di dalam Kitab Wahyu
Ciri Sastra Apokaliptik
o Penggunaan Nama Penulis Samaran
Ciri sastra Apokaliptik adalah memakai nama penulis samaran. Tulisan yang penulisnya menggunakan nama samaran dikenal dengan istilah pseudonymous. Pemakaian nama samaran merupakan hal yang lazim dan tidak hanya terjadi di lingkungan penulis Yahudi saja, tetapi juga di dunia Yunani dan Romawi. Dengan menggunakan nama samaran, biasanya nama figur-figur dari masa lampau yang dihormati, maka tulisan-tulisan apokaliptik mendapatkan otoritas dan dihadirkan sebagai tulisan-tulisan yang memprediksikan masa depan yang sedang digenapi
o Penggunaan Bahasa Simbolis
Ciri lain dari sastra apokaliptik yang membuatnya mudah dikenali adalah banyak menggunakan bahasa simbolis. Kadang bahasa simbolis yang digunakan mudah dimengerti namun kadang sulit dipahami. Simbol-simbol yang sering dipakai adalah binatang-binatang, manusia dan bintang-bintang, makhluk-makhluk mitologi, dan angka-angka. Ini dapat kita temukan dalam surat Wahyu kepada Yohanes yang menyebut Roma sebagai Babel atau Kitab Daniel yang memakai nama-nama binatang untuk menyebutkan nama empat negara.
o Sosok Malaikat Berperan Penting
Sastra apokaliptik sangat menekankan sifat supranatural dari wahyu yang diberikan. Aspek supranatural ini diperlihatkan melalui sosok malaekat yang mewarnai tulisan-tulisan apokaliptik. Sosok malaikat dalam tulisan apokaliptik memiliki peran penting yang membuat mereka menonjol. Misalnya, dalam kitab Daniel kita dapat menemukan dua tokoh malaikat yaitu Gabriel (Daniel 8:16) dan Mikhael (Daniel 12:1). Para penulis sastra apokaliptik banyak memberikan perhatian kepada sosok-sosok malaikat dan setan karena memang masyarakat Israel kuno sangat akrab dengan bayangan tentang suatu pengadilan ilahi yang menunjukkan adanya sisa-sisa politeisme kuno dalam kepercayaan mereka yang monoteis.
o Kedatangan Zaman Keselamatan
Sastra Apokaliptik berbicara tentang eskatologi, yaitu akhir dunia yang semakin memburuk hingga betul-betul kiamat, lalu tiba-tiba muncul dunia baru yang serba indah. Saat dunia yang baru itu datang, segala kejahatan dan kuasanya akan dimusnahkan oleh Allah, orang-orang yang telah mati akan dibangkitkan, dan akan ada penghakiman bagi semua orang. Dalam pandangan apokaliptik, bumi dilihat secara menyeluruh dan tidak hanya terbatas pada umat Israel. Dengan datangnya dunia yang baru maka berakhirlah penderitaan orang-orang percaya yang tertindas. Sastra apokaliptik dengan demikian mendorong orang-orang agar dapat bertahan dalam penindasan.[ Sasaran akhir tulisan ini adalah berakhirnya segala kejahatan, kekuasaan yang dimiliki negara-negara besar di dunia tidak akan bertahan lama, dan zaman keselamatan pun tiba.
Sastra Apokaliptik dan Nubuat
Perbedaan
Yang membedakan antara sastra apokaliptik dengan nubuat adalah pernyataan Allah yang diberikan pada para nabi disampaikan secara lisan kepada umat sedangkan para penulis kitab Apokaliptik menyampaikan pernyataan Allah yang diperoleh dari penglihatan dalam bentuk tulisan.
Persamaan
Persamaan keduanya adalah baik sastra apokaliptik maupun nubuat sama-sama memperlihatkan keprihatinan yang mendalam pada kehendak Allah dan kesetiaan pada kehendak itu dalam situasi zaman tertentu. Para nabi dengan nubuat-nubuatnya memberi seruan kepada orang-orang yang sudah tidak setia untuk bertobat dan kembali hidup taat pada Allah. Sementara itu, pada masa kitab Daniel, umat dilarang menjalankan praktik ibadahnya dan mendapatkan tekanan dari bangsa lain untuk ikut serta dalam penyembahan dewa-dewa asing. Walaupun situasinya berbeda tetapi ini menunjukan bahwa sastra apokaliptik dan nubuat sama-sama menekankan panggilan kepada umat untuk menjaga kesetiaan hanya pada Allah.
Kitab-kitab yang termasuk Sastra Apokaliptik
Sastra Apokaliptik dalam Kanon Kristen Barat
· Kitab Daniel
Kitab Daniel merupakan sastra apokaliptik yang paling tua, ditulis sekitar tahun 167-164 SM, yang dikenal orang-orang Kristen bahkan kitab ini menjadi satu-satunya kitab apokaliptik yang masuk dalam kanon Perjanjian Lama.[2][3] Tulisan ini sebagian ditulis dengan menggunakan bahasa Ibrani dan sebagaian lagi dalam bahasa Aram.[3] Dalam kitab Daniel ditemukan dua pola yang berbeda antara pasal 1-6 dengan pasal 7-12. Daniel 1-6 banyak menceritakan kehidupan Daniel dan teman-temannya di dalam istana pada masa pemerintahan raja-raja Babel dan Persia abad ke-6 SM sedangkan Daniel 7-12 berisi berbagai penglihatan. Kitab Daniel merupakan sebuah kitab apokaliptik yang berisi tentang beberapa penglihatan masa depan dan sejarah dari empat kerajaan dunia, tentang Raja Antiokhus yang jahat, penghukuman Allah, dan kedatangan Kerajaan Allah.
· Kitab Wahyu
Kitab Wahyu di dalam Perjanjian Baru sering dianggap sulit untuk ditafsirkan karena isinya menampilkan berbagai peristiwa eskatologis dan banyak bahasa simbol. Sebagai salah satu kitab apokaliptik, kitab Wahyu muncul dan ditulis pada konteks masa penganiayaan orang-orang Kristen. Sebagai sebuah tulisan apokaliptik, surat ini memaparkan berbagai bentuk penglihatan, mimpi, dan pengalaman-pengalaman spiritual. Wahyu kepada Yohanes banyak memuat gambaran-gambaran aneh seperti binatang atau makhluk-makhluk aneh dan mengerikan misalnya naga. Sementara simbol berupa angka-angka juga banyak muncul seperti angka 3,7,12 dan kelipatannya.
Situasi dan kondisi Sosio- Politik yang dihadapi oleh ketujuh jemaat di Asia kecil
Setelah kekaisaran Romawi mengalahkan kerajaan Yunani pada tahun 168 sebelum masehi, maka pemerintah mengharuskan rakyat menyembah dewi Roma. Namun, dewi ini tidak memiliki wujud dan terdapat sebuah pemikiran apabila dewi ini nantinya akan disembah maka akan sulit untuk mendapat dukungan dari berbagai suku bangsa yang berbeda. Oleh karena hal inilah, maka kekaisaran Romawi mulai memberlakukan pemujaan terhadap kaisar. Pada saat itu kaisar Nerolah yang memimpin bangsa Romawi. Ia melakukan kekerasan dan penganiayaan pada orang Kristen hingga akhirnya pada tahun 64 Nero membakar kota Roma dan orang Kristen dijadikan kambing hitam atas kebakaran tersebut.
Pada masa pemerintahan Domitian, kaisar dengan giat melaksanakan pendewaan atas dirinya sendiri. Ia menyebut dirinya sebagai allah, bagi siapa saja yang tidak setia kepada dia akan dinyatakan menghujat allah serta dinilai sebagai penghianat kerajaan. Ia juga membuat peraturan di dalam kerajaan, salah satunya adalah setiap pembesar kerajaan yang ingin berbicara dengannya atau datang memberikan laporan kepadanya haruslah menyapanya dengan Tuhan.
Setelah kuasa politik pemerintahan kekaisaran Romawi stabil, misalnya sistem transportasi yang maju, jaminan keamanan bagi masyarakat, serta jaminan keamanan perdagangan, maka tercetuslah sebuah istilah dalam sejarah politik Romawi yaitu Pax Romana. Pax Romana merupakan sebuah istilah yang dipakai oleh rakyat untuk mengucapkan tanda terima kasih pada kaisar. Setiap tahun juga telah ditetapkan bahwa rakyat wajib untuk membakar kemenyan untuk menyembah kaisar dalam kuil. Orang-orang Kristen yang hidup pada masa ini mengalami tekanan dari para pembesar pemerintah. Namun, demi iman kepercayaan mereka yang terus mereka pertahankan mereka rela untuk dianiaya dan dibunuh. Hal ini menyebabkan banyak orang Kristen yang menjadi martir.
Tujuh Jemaat Di Asia
Tujuh Jemaat di Asia Kecil, juga dikenal sebagai Tujuh Jemaat di Asia merupakan tujuh gereja di Provinsi Romawi, Asia, (meliputi wilayah Asia Kecilbukan seluruh benua Asia) yang disebutkan dalam Kitab Wahyu kepada Rasul Yohanes di Perjanjian Baru dalam Alkitab Kristen, khususnya pada pasal 1, 2 dan 3. Seperti dijelaskan sebelumnya, Rasul Yohanes sedang berada di Pulau Patmos dalam pembuangan atas perintah Kekaisaran Romawi karena mengajarkan iman Kristen. Ketika di sana ia mendapatkan penglihatan di mana ia melihat dan mendengar Yesus Kristus berbicara kepadanya dan memerintahkannya untuk menulis surat kepada tujuh jemaat tertentu. Ke tujuh jemaat itu adalah:
1. Jemaat Efesus(Wahyu2:1-7)
2. Jemaat Smirna(Wahyu2:8-11)
3. Jemaat Pergamus(Wahyu2:12-17)
4. Jemaat Tiatira(Wahyu2:18-29)
5. Jemaat Sardis(Wahyu3:1-6)
6. Jemaat Filadelfia(Wahyu3:7-13),dan
7. Jemaat Laodikia (Wahyu 3:14-22)
Keadaan rohani dari tujuh jemaat
o Jemaat Efesus yang sudah meninggalkan kasih yang mula-mula, dalam jemaat terdapat golongan Nikolaus
o Jemaat Smirna: dengan adanya jemaah Iblis
o Jemaat Pergamus: terdapat takhta Iblis; adanya Antipas saksi-Ku yang dibunuh, adanya pengajaran Bileam, adanya pengikut Nikolaus
o Jemaat Tiatira: membiarkan wanita Izebel, yang mengajar dan menyesatkan orang untuk berzinah, menyantap makanan yang sudah dipersernbahkan kepada berhala, adanya pengajaran tentang seluk-beluk Iblis.
o Jemaat Sardis: yang clikatakan hidup, namun sebenarnya mati, perbuatan mereka tidak ada satu pun yang sempurna
o Jemaat Filadelfia: mereka mempunyai sedikit kekuatan
Jemaat Laodikia: melarat, malang, miskin, buta dan telanjang, bahkan mengabaikan Kristus dan sebagainya
· Yohanes menyampaikan pesan kepada gereja Efesus untuk bertobat dari cara-cara Nikolaus.
· Yohanes menyampaikan pesan kepada gereja Smirna untuk memperingatkan mereka mengenai sepuluh hari kesusahan yang mungkin menghilangkanmereka hidup mereka atau penjara.
· Yohanes menyampaikan pesan kepada gereja Pergamus untuk bertobat dari ajaran-ajaran Bileam dan Nikolaus.
· Yohanes menyampaikan pesan kepada gereja Sardis karena menjadi "mati" atau tidak menyadari hal-hal yang akan datang, yang karya-karyanya tidak sempurna di hadapan Allah.
· Yohanes menyampaikan pesan kepada gereja Filadelfia untuk bertahan dengan sedikit kekuatan yang mereka miliki; untuk memegang kuat sehingga tidak ada yang mengambil mahkota mereka.
· Yohanes menyampaikan pesan kepada gereja Laodikia untuk bertobat dari investasi pada kekayaan material yang membuat mereka sengsara; sebaliknya, berinvestasi dalam emas halus dari Dia yang telah mengalahkan semuanya.
· Terlihat takhta surgawi dengan pelangi melingkunginya, di mana Seorang duduk di atasnya.
· Terlihat mengelilingi takhta utama ada dua puluh empat takhta yang diduduki oleh dua puluh empat tua-tua bermahkota emas.
· Terlihat Empat makhluk; masing-masing memiliki enam sayap yang penuh dengan mata, yang satu yang memiliki wajah seperti singa, yang lain seperti anak lembu, ketiga seperti manusia, dan terakhir seperti elang.
Berbagai Pendekatan dalam Memahami Kitab Wahyu
Ø Memahami Kitab Wahyu
Dalam memahami Kitab Wahyu, terdapat tiga macam pandangan teologis yang sangat menentukan cara pendekatan untuk memahami Kitab Wahyu antara lain pandangan profetis, pandangan spiritualistis, dan pandangan historis-kritis.
Ø Pandangan Profetis
Pandangan profetis menganggap Wahyu sepenuhnya merupakan nubuatan tentang akhir zaman, terutama jika dihubungkan dengan Kitab Daniel dan bagian-bagian eskatologis lain dalam Alkitab. Pandangan profetis terbagi dalam tiga aliran yaitu pandangan preteris, pandangan futuris, dan pandangan historis. Pandangan preteris berusaha memahami Kitab Wahyu dengan melihat peristiwa-peristiwa pada abad pertama, misalnya mengenai penganiayaan terhadap gereja yang digambarkan seperti metafora "ibu dari wanita-wanita pelacur dan dari kekejian bumi" (Wahyu 17:5). Hal lain lagi yaitu Harmagedon (Wahyu 16:6) dipandang sebagai penghakiman Allah atas orang-orang Yahudi yang dilakukan oleh prajurit-prajurit Romawi yang digambarkan sebagai binatang.
Pandangan futuris menganggap semua atau sebagian besar nubuat Wahyu adalah mengenai peristiwa yang akan terjadi pada masa depan, menjelang kedatangan Kristus kedua.
Pandangan futuris juga mempercayai bahwa kesengsaraan dahsyat akan terjadi yakni periode tujuh tahun, ketika orang percaya di seluruh dunia akan mengalami penganiayaan dan kesyahidan serta akan disucikan dan dikuatkan olehnya
Pandangan futuris ini pertama kali dimunculkan oleh dua orang penulis Katolik yaitu Manuel Lacunza dan Ribera.
Pandangan historis menganggap Wahyu sebagai nubuat untuk rentang waktu dari abad pertama hingga kedatangan Yesus yang kedua.
Secara politis, simbol-simbol dalam kitab ini dimaknai sebagai nubuat mengenai perpecahan tahap demi tahap dan kejatuhan kekaisaran Romawi, timbulnya perpecahan di Eropa Barat dan bangkitnya kerajaan Islam di Timur.
Ø Pandangan Spiritualistis
Pandangan ini menekankan makna spiritual di balik pewartaan Kitab Wahyu.[ Penglihatan-penglihatan yang dipaparkan dalam kitab ini dipahami sebagai ungkapan kebenaran rohani yang kekal, yang selalu dinyatakan di sepanjang sejarah.
Ø Pandangan Historis Kritis
Pandangan ini memahami Kitab Wahyu dengan pendekatan historis-kritis. Menurut pandangan ini, pesan kitab Wahyu tidak mungkin dipahami tanpa analisis historis atas latar belakang penulisannya. Bahasa-bahasa apokaliptis yang digunakan dapat dipahami apabila latar belakang konteksnya lebih dahulu diketahui.[3] Pandangan historis-kritis memahami kitab wahyu dalam konteks historis abad pertama dalam sastra apokaliptik Yahudi dan Kristen.
Ø Muatan Teologi
Eskatologi
Pemahaman eskatologis kitab ini terdapat dalam Wahyu 1:7, di sana digambarkan mengenai peristiwa kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Selain itu, eshkatologi kitab ini juga bukan lagi peristiwa masa depan yang dinantikan, melainkan peristiwa masa kini yang mendemonstrasikan kuasa Allah, karena Yesus berkata "Aku datang segera".Selain itu, tema kerajaan Allah dalam kitab Wahyu dipengaruhi oleh pengertian kerajaan seribu tahun. Sebelum adanya kerajaan seribu tahun, pasti akan ada kesusahan yang besar, namun kesusahan tersebut akan hilang ketika Kristus mengalahkan sumber kesusahan.
Ø Etika
Dasar etika Kristen dalam kitab Wahyu dikemukakan dalam Wahyu 1:5, "...memang Tuhan menyelamatkan umatnya dari tanah Mesir, namun sekali lagi membinasakan mereka yang tidak percaya." Secara simbolis dan tipologis, pengalaman Israel ini merupakan ilustrasi bagi gereja. Dalam Yesus, Allah telah menyelamatkan umatnya dari dosa-dosa mereka pada masa lalu, namun mereka yang tidak percaya akan dibinasakan. Berita ini merupakan dasar perintah di mana orang beriman dipanggil untuk menarik garis pembatas dengan orang yang tidak beriman, sebab semua akan dihakimi berdasarkan perbuatannya. Perbuatan memiliki arti sebuah respons yang tepat terhadap karya keselamatan Allah dalam Yesus, yang telah diterima oleh orang-orang percaya.
Ø Eklesiologi
Eklesiologi kitab Wahyu mencerminkan bahwa jemaat terdiri dari saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuan dalam satu keluarga Allah. Semua anggota jemaat disebut sebagai hamba-hamba atau pelayan-pelayan. Bahkan malaikat pun disebutkan sebagai sesama hamba (Wahyu 22:9) Gagasan dasar ini menjelaskan struktur jabatan gereja yang diduga telah diterapkan di Asia Kecil pada akhir abad pertama. Satu-satunya jabatan khusus dalam kitab Wahyu adalah nabi, namun tidak menunjukkan bahwa jabatan tersebut dilembagakan. Dilihat dari sudut pandang ekumenis, penulis Wahyu sangat memperhatikan situasi jemaat lokal, sebab jemaat itu merupakan komponen yang menentukan masa depan gereja secara keseluruhan.
Memahami Simbolisme kitab Wahyu
Simbolisme kitab Wahyu Sifat simbolis kitab Wahyu sudah tersirat sejak awal. Hal ini tampak dari kata kerja yang digunakan dalam Wahyu 1:1, yaitu sēmainō (infinitifnya, sēmainein), yang secara harfiah berarti ‘menandakan’ atau ‘memberitahukan’ Kata kerja ini erat berhubungan dengan kata benda sēmeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘simbol.’ Kata kerja sēmainō menunjukkan metode komunikasi yang digunakan untuk memberitahukan suatu kebenaran secara simbolis, figuratif atau imajinatif, bukan secara definitif (metode seperti ini lazimnya digunakan dalam nubuat). Sēmainō merupakan istilah teknis yang menyiratkan komunikasi ilahi kepada manusia dalam terminologi simbolis. Karena itu, maksud yang sebenarnya kadang-kadang tidak sepenuhnya dapat dipahami, terlebih bagi orang-orang modern yang sudah berada jauh dari peristiwanya. Simbol-simbol itu antara lain:
a. Tujuh bintang yang diartikan sebagai ‘malaikat’ dari tujuh jemaat (1:20). Dalam hal ini, ‘malaikat’ juga merupakan kata simbolis untuk para pemimpin jemaat (mungkin majelis jemaat).
b. Tujuh kaki dian, yaitu tujuh jemaat di Asia Kecil (1:20).
c. Tujuh obor menyala-nyala, yaitu tujuh Roh Allah (4:5). Bilangan tujuh dipahami sebagai lambang kesempurnaan dan dalam hubungannya dengan Roh Allah, titik beratnya bukanlah jumlah secara aritmatis, melainkan kualitas kesempurnaan-Nya.
d. Cawan pedupaan adalah doa orang-orang kudus (5:8).
e. Orang-orang yang memakai jubah putih adalah mereka yang telah lolos dari kesusahan besar (7:13-14).
f. Naga besar, si ular tua, adalah simbol Iblis (diabolos) atau setan (satanas) yang menyesatkan seluruh dunia (12:9).
g. Tujuh kepala binatang adalah tujuh gunung. Dalam hal ini, gunung sendiri merupakan simbol yang melambangkan kekuasaan kekaisaran Romawi (17:9).
h. Sepuluh tanduk adalah sepuluh raja (17:12).
i. Air adalah bangsa-bangsa, rakyat banyak, kaum dan bahasa (17:15).
j. Perempuan adalah kota besar yang memerintah raja-raja bumi; kemungkinan yang dimaksudkan adalah kekaisaran Romawi (17:18).
Dalam kitab Wahyu, simbol-simbol di atas hampir selalu digunakan dengan makna yang tetap. Naga, misalnya, selalu digunakan sebagai simbol Iblis. Simbol-simbol yang termasuk dalam kategori kedua adalah simbol-simbol yang berlatar belakang PL, yang konteksnya dapat menolong kita untuk memahami maksudnya. Simbol-simbol tersebut antara lain:
a) Pohon kehidupan (2:7, 22:2; bdk. Kej. 3:22)
b) Manna yang tersembunyi (2:17; bdk. Kel. 16:31; Neh. 9:20; dll.)
c) Tongkat besi (2:27; bdk. Kel. 4:20; Mzm. 23:4; Yes. 10:5; Mi. 7:14)
d) Bintang timur (2:28; bdk. Bil. 24:17; Yes. 14:12)
e) Kunci Daud (3:7; bdk. Yes. 22:22)
f) Makhluk hidup (4:7-9; Kej. 1:20, 21; Mzm. 145:21; Yeh. 1:5)
g) Empat penunggang kuda (6:1-3; bdk. Kel. 15:1, 21; Am. 2:15)
h) Malaikat yang kuat (10:1-3; Kej. 24:7; 48:16; Kel. 23:20; Dan. 3:28)
i) Binatang pertama yang keluar dari dalam laut (13:1-10, bdk. Dan. 7:4-6).
j) Binatang kedua yang keluar dari dalam bumi (13:11-18, bdk. Ul. 13:2-4).
Penggunaan PL dalam Wahyu, paling tidak, menunjukkan adanya hubungan di antara keduanya. Misalnya, pohon kehidupan dalam 2:7 dan 22:2 mengingatkan kita pada Kejadian 3:22, ketika manusia diusir dari taman Eden, sehingga tidak dapat menggapai lagi pohon kehidupan. Dalam Wahyu dikatakan bahwa buah pohon kehidupan dari Firdaus Allah itu akan dianugerahkan kepada mereka yang menang. Daun-daun pohon itu berkhasiat sebagai obat untuk menyembuhkan bangsa-bangsa.
Contoh lain, binatang yang dilukiskan dalam Wahyu 13, mengingatkan kita pada gambaran dalam Daniel 7, sekalipun terdapat perbedaan sudut pandang di antara keduanya. Penulis kitab Daniel menulis dari sudut pandang umat Yahudi, bahwa penderitaan yang akan mereka alami di bawah pemerintahan kafir akan menyebabkan kedatangan Mesias. Wahyu ditulis dalam masa pemerintahan kaisar Romawi terakhir, setelah persemakmuran Yahudi dihancurkan. Penulis mengambil gambaran kitab Daniel untuk melukiskan penguasa Romawi waktu itu. Sebagaimana umat Yahudi menantikan kedatangan Mesias, demikianlah jemaat yang berada dalam penderitaan itu menantikan kedatangan Kristus yang kedua kali.
Simbol-simbol kategori ketiga adalah simbol-simbol dalam Wahyu yang digunakan tanpa penjelasan. Usaha untuk memaknai simbol-simbol ini relatif sulit. Untuk memahaminya, simbol-simbol tersebut harus diletakkan secara tepat dalam konteksnya. Itupun masih mengandung kemungkinan adanya perbedaan interpretasi. Simbol-simbol itu antara lain: a) Batu putih (2:17).
Simbol ‘batu putih’ (psēfos leukē) dalam 2:17. Dalam PL tidak kita temukan preseden mengenai simbol ini dan konteksnya pun tidak memberi penjelasan mengenai maknanya. Karena itu, simbol ini dimaknai bermacam-macam. Dalam tradisi Aram, psēfos digunakan sebagai semacam kartu suara dalam pemungutan suara, atau sebagai tiket bebas untuk masuk ke tempat hiburan. Di samping itu, psēfos leukē juga digunakan sebagai semacam jimat, yang di atasnya diukir rumusan rahasia, yang dihubungkan dengan Urim dan Tumim (Kel. 28:30; Im. 8:8). Namun rupanya, batu putih dalam ayat ini merupakan simbol janji pemeliharaan Allah atas orang beriman. Nama yang ditulis di atasnya menggambarkan hubungan yang erat antara Allah dengan orang beriman. Jadi, batu putih yang diukir dengan nama penerimanya melambangkan jaminan perkenan Allah dan kunci untuk memasuki persekutuan dengan-Nya. b) Sokoguru atau pilar (3:12)
Simbol ‘sokoguru’ (stulos, 3:12) diambil dari dunia arsitektur sezaman. Tiap kota dalam dunia Romawi pasti memiliki kuil pemujaan, dengan tiang utama sebagai penopang atapnya. Sokoguru merupakan bagian utama dari suatu struktur bangunan, bukan saja untuk memperindah bangunan itu, melainkan juga untuk menjaga stabilitasnya. Dalam Wahyu, orang beriman disimbolkan sebagai sokoguru Bait Allah, dibangun secara permanen dalam struktur dan memiliki porsi tanggung jawab untuk memelihara ibadah kepada Allah.
c) Tua-tua (4:4-6).
tua-tua’ atau ‘penatua’ (presbuteros) merupakan salah satu unsur yang cukup memiliki otoritas, baik secara politis maupun religius, dan sangat dihormati, sejajar dengan para ahli Taurat (Mat. 26:57; Luk. 20:1; 22:52). Jabatan ini kemudian juga digunakan dalam jemaat Kristen (Kis. 14:23; 16:4; 20:17), dengan kedudukan yang lebih sentral, yaitu sebagai pemimpin jemaat, yang bertanggung jawab untuk memimpin dan menggembalakan jemaat. Rupanya, dua puluh empat tua-tua dalam Wahyu 4:4-6 itu secara simbolik mewakili seluruh umat Allah, yang mencakup baik ‘umat Allah yang lama’ (Israel) maupun ‘umat Allah yang baru’ (gereja); seakan-akan duabelas di antaranya berasal dari Israel dan duabelas yang lain dari jemaat Kristen. Di hadapan Allah, mereka tampak selalu menyembah Dia, bersama-sama dengan para penyembah lainnya, semua makhluk hidup dan para kherubim (4:4, 10;7:11, 13).
d) Meterai (5:1; 6:1-17)
Arti ‘meterai’ (sfragis, sfragidos) dalam pasal 6 dapat dilacak dari penggunaannya dalam pasal 5, yaitu untuk memeteraikan gulungan kitab (5:1). Pada masa itu, Kitab Suci terbuat dari gulungan papirus. Namun, Kitab Suci yang disebutkan oleh penulis Wahyu merupakan buku yang istimewa, karena ditulisi di sebelah dalam dan di sebelah luarnya. Lazimnya, gulungan papirus hanya ditulisi di salah satu sisinya. Kalau sisi yang lain juga ditulisi, kemungkinan karena bahan yang harus ditulis demikian banyak, sehingga tidak cukup ditulis di satu sisi saja, atau, kalau tidak, mungkin sisi yang lain ditulisi dengan judul kitab itu. Kalau gulungan kitab itu ditulis di kedua sisi dan kemudian disegel dengan tujuh meterai, tentu kitab itu merupakan dokumen yang tidak lazim dan amat penting. e) Dua saksi (11:3-5)
yang dimaksud dengan ‘dua saksi’ tersebut adalah Musa dan Elia. Wahyu 11:6 mengingatkan kita pada cerita keluaran dari Mesir, tatkala Allah menimpakan bala atas Firaun dan bangsa Mesir; sedangkan Wahyu 11:12 mengingatkan kita pada pengalaman Elia dalam 2 Raja-raja 2:11. Dugaan ini diperkuat dengan Maleakhi 4:4-6 yang menyebutkan kedua tokoh ini sebagai teladan bagi umat Israel, yang sedang mengalami dekadensi moral. Kita temukan dua gambaran tentang ‘perjamuan,’ yaitu dalam Wahyu 19, ayat 9 dan 17.
Kedua perjamuan itu sangat kontras satu sama lain. Perjamuan pertama adalah perjamuan yang didasari kasih, sedangkan perjamuan kedua menggambarkan penghancuran akibat pemberontakan. Perjamuan pertama adalah perjamuan kawin Anak Domba yang disediakan untuk orang-orang kudus, sedangkan perjamuan yang kedua merupakan malapetaka bagi mereka yang menolak-Nya. Namun kedua perjamuan itu sama-sama merayakan kemenangan Kristus atas kuasa jahat. g) Kilangan anggur (4:20; 19:15)
Lambang ‘kilang anggur’ dalam 4:20 dan 19:15 diambil dari kehidupan sehari-hari, yang telah akrab bagi para pembacanya. Gambaran ini melukiskan penghancuran para musuh Allah. Sama seperti buah-buah anggur yang diperas dalam pengilangan, demikianlah musuh-musuh Allah akan dihancurkan dalam ketidakberdayaan. Sekalipun secara tidak langsung dapat dihubungkan dengan Yesaya 63:2-3, namun rupanya gambaran ini lebih didasarkan h) Lautan api (19:20)
Lautan api’ (19:20; 20:10, 14-15; 21:8) tidak memiliki kesejajaran dengan gambaran-gambaran dalam PL, namun berhubungan dengan tokoh-tokoh dalam mitologi dan literatur apokaliptik. i) Tahta putih yang besar (20:11) Tahta putih yang besar’ (20:11) bukanlah gambaran yang diambil dari PL. Memang, Daniel 7:9 berbicara mengenai yang Lanjut Usia, yang pakaiannya putih bersih seperti bulu domba dan tahtanya dari nyala api, dan kitab Henokh berbicara mengenai gunung yang puncaknya sampai ke surga, seperti tahta Allah. Namun tidak ada hubungan langsung antara gambaran dalam kitab Wahyu dengan gambaran dalam kitab Daniel maupun Henokh. Yang jelas, tahta itu melambangkan kedaulatan, kuasa penghakiman dan hak prerogratif Allah. Warna putih menyimbulkan kekudusan-Nya, yang sama sekali kontras dengan kuasa jahat. Di samping itu, secara keseluruhan, lambang tersebut juga menyimbolkan keterbatasan pikiran manusia di hadapan Allah yang tak terpahami, serta kemenangan kebenaran dalam penghakiman akhir yang adil dan benar.
j) Kota Allah (21:2-4) Kota Allah melambangkan komunitas umat yang berada dalam damai sejahtera dan kehidupannya tertata seturut dengan kebenaran Allah. Jadi, Yerusalem Baru adalah representasi umat Allah, yang satu sama lain dipersekutukan dalam damai sejahtera kekal.
Tugas
Baca materi untuk di pelajari dan siap untuk ujian semester.
Comments