Simbolisme kitab Wahyu Sifat simbolis kitab Wahyu sudah tersirat sejak awal. Hal ini tampak dari kata kerja yang digunakan dalam Wahyu 1:1, yaitu sēmainō (infinitifnya, sēmainein), yang secara harfiah berarti ‘menandakan’ atau ‘memberitahukan’ Kata kerja ini erat berhubungan dengan kata benda sēmeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘simbol.’ Kata kerja sēmainō menunjukkan metode komunikasi yang digunakan untuk memberitahukan suatu kebenaran secara simbolis, figuratif atau imajinatif, bukan secara definitif (metode seperti ini lazimnya digunakan dalam nubuat). Sēmainō merupakan istilah teknis yang menyiratkan komunikasi ilahi kepada manusia dalam terminologi simbolis. Karena itu, maksud yang sebenarnya kadang-kadang tidak sepenuhnya dapat dipahami, terlebih bagi orang-orang modern yang sudah berada jauh dari peristiwanya.
Simbol-simbol itu antara lain:
a. Tujuh bintang yang diartikan sebagai ‘malaikat’ dari tujuh jemaat (1:20). Dalam hal ini, ‘malaikat’ juga merupakan kata simbolis untuk para pemimpin jemaat (mungkin majelis jemaat).
b. Tujuh kaki dian, yaitu tujuh jemaat di Asia Kecil (1:20).
c. Tujuh obor menyala-nyala, yaitu tujuh Roh Allah (4:5). Bilangan tujuh dipahami sebagai lambang kesempurnaan dan dalam hubungannya dengan Roh Allah, titik beratnya bukanlah jumlah secara aritmatis, melainkan kualitas kesempurnaan-Nya.
d. Cawan pedupaan adalah doa orang-orang kudus (5:8).
e. Orang-orang yang memakai jubah putih adalah mereka yang telah lolos dari kesusahan besar (7:13-14).
f. Naga besar, si ular tua, adalah simbol Iblis (diabolos) atau setan (satanas) yang menyesatkan seluruh dunia (12:9).
g. Tujuh kepala binatang adalah tujuh gunung. Dalam hal ini, gunung sendiri merupakan simbol yang melambangkan kekuasaan kekaisaran Romawi (17:9).
h. Sepuluh tanduk adalah sepuluh raja (17:12).
i. Air adalah bangsa-bangsa, rakyat banyak, kaum dan bahasa (17:15).
j. Perempuan adalah kota besar yang memerintah raja-raja bumi; kemungkinan yang dimaksudkan adalah kekaisaran Romawi (17:18).
Dalam kitab Wahyu, simbol-simbol di atas hampir selalu digunakan dengan makna yang tetap. Naga, misalnya, selalu digunakan sebagai simbol Iblis. Simbol-simbol yang termasuk dalam kategori kedua adalah simbol-simbol yang berlatar belakang PL, yang konteksnya dapat menolong kita untuk memahami maksudnya. Simbol-simbol tersebut antara lain: a) Pohon kehidupan (2:7, 22:2; bdk. Kej. 3:22) b) Manna yang tersembunyi (2:17; bdk. Kel. 16:31; Neh. 9:20; dll.) c) Tongkat besi (2:27; bdk. Kel. 4:20; Mzm. 23:4; Yes. 10:5; Mi. 7:14) d) Bintang timur (2:28; bdk. Bil. 24:17; Yes. 14:12) e) Kunci Daud (3:7; bdk. Yes. 22:22) f) Makhluk hidup (4:7-9; Kej. 1:20, 21; Mzm. 145:21; Yeh. 1:5) g) Empat penunggang kuda (6:1-3; bdk. Kel. 15:1, 21; Am. 2:15) h) Malaikat yang kuat (10:1-3; Kej. 24:7; 48:16; Kel. 23:20; Dan. 3:28) i) Binatang pertama yang keluar dari dalam laut (13:1-10, bdk. Dan. 7:4-6). j) Binatang kedua yang keluar dari dalam bumi (13:11-18, bdk. Ul. 13:2-4). Penggunaan PL dalam Wahyu, paling tidak, menunjukkan adanya hubungan di antara keduanya. Misalnya, pohon kehidupan dalam 2:7 dan 22:2 mengingatkan kita pada Kejadian 3:22, ketika manusia diusir dari taman Eden, sehingga tidak dapat menggapai lagi pohon kehidupan. Dalam Wahyu dikatakan bahwa buah pohon kehidupan dari Firdaus Allah itu akan dianugerahkan kepada mereka yang menang. Daun-daun pohon itu berkhasiat sebagai obat untuk menyembuhkan bangsa-bangsa. Contoh lain, binatang yang dilukiskan dalam Wahyu 13, mengingatkan kita pada gambaran dalam Daniel 7, sekalipun terdapat perbedaan sudut pandang di antara keduanya. Penulis kitab Daniel menulis dari sudut pandang umat Yahudi, bahwa penderitaan yang akan mereka alami di bawah pemerintahan kafir akan menyebabkan kedatangan Mesias. Wahyu ditulis dalam masa pemerintahan kaisar Romawi terakhir, setelah persemakmuran Yahudi dihancurkan. Penulis mengambil gambaran kitab Daniel untuk melukiskan penguasa Romawi waktu itu. Sebagaimana umat Yahudi menantikan kedatangan Mesias, demikianlah jemaat yang berada dalam penderitaan itu menantikan kedatangan Kristus yang kedua kali.
Simbol-simbol kategori ketiga adalah simbol-simbol dalam Wahyu yang digunakan tanpa penjelasan. Usaha untuk memaknai simbol-simbol ini relatif sulit. Untuk memahaminya, simbol-simbol tersebut harus diletakkan secara tepat dalam konteksnya. Itupun masih mengandung kemungkinan adanya perbedaan interpretasi. Simbol-simbol itu antara lain: a) Batu putih (2:17). b) Sokoguru atau pilar (3:12) c) Tua-tua (4:4-6). d) Meterai (5:1; 6:1-17) e) Dua saksi (11:3-5) f) Perempuan berselubung matahari (12:1, 2, 14-16) g) Kilangan anggur (4:20; 19:15) h) Lautan api (19:20) i) Tahta putih yang besar (20:11) j) Kota Allah (21:2-4)
Dalam beberapa hal, simbol-simbol yang tidak kita kenal tersebut dapat dipahami berdasar penggunaannya dalam kebiasaan setempat, yang bagi pembaca utamanya cukup jelas maksudnya. Misalnya, simbol ‘batu putih’ (psēfos leukē) dalam 2:17. Dalam PL tidak kita temukan preseden mengenai simbol ini dan konteksnya pun tidak memberi penjelasan mengenai maknanya. Karena itu, simbol ini dimaknai bermacam-macam. Dalam tradisi Aram, psēfos digunakan sebagai semacam kartu suara dalam pemungutan suara, atau sebagai tiket bebas untuk masuk ke tempat hiburan. Di samping itu, psēfos leukē juga digunakan sebagai semacam jimat, yang di atasnya diukir rumusan rahasia, yang dihubungkan dengan Urim dan Tumim (Kel. 28:30; Im. 8:8). Namun rupanya, batu putih dalam ayat ini merupakan simbol janji pemeliharaan Allah atas orang beriman. Nama yang ditulis di atasnya menggambarkan hubungan yang erat antara Allah dengan orang beriman. Jadi, batu putih yang diukir dengan nama penerimanya melambangkan jaminan perkenan Allah dan kunci untuk memasuki persekutuan dengan-Nya.
Simbol ‘sokoguru’ (stulos, 3:12) diambil dari dunia arsitektur sezaman. Tiap kota dalam dunia Romawi pasti memiliki kuil pemujaan, dengan tiang utama sebagai penopang atapnya. Sokoguru merupakan bagian utama dari suatu struktur bangunan, bukan saja untuk memperindah bangunan itu, melainkan juga untuk menjaga stabilitasnya. Dalam Wahyu, orang beriman disimbolkan sebagai sokoguru Bait Allah, dibangun secara permanen dalam struktur dan memiliki porsi tanggung jawab untuk memelihara ibadah kepada Allah.
Dalam struktur kepemimpinan Yudaisme, jabatan (sebutan?) ‘tua-tua’ atau ‘penatua’ (presbuteros) merupakan salah satu unsur yang cukup memiliki otoritas, baik secara politis maupun religius, dan sangat dihormati, sejajar dengan para ahli Taurat (Mat. 26:57; Luk. 20:1; 22:52). Jabatan ini kemudian juga digunakan dalam jemaat Kristen (Kis. 14:23; 16:4; 20:17), dengan kedudukan yang lebih sentral, yaitu sebagai pemimpin jemaat, yang bertanggung jawab untuk memimpin dan menggembalakan jemaat. Rupanya, dua puluh empat tua-tua dalam Wahyu 4:4-6 itu secara simbolik mewakili seluruh umat Allah, yang mencakup baik ‘umat Allah yang lama’ (Israel) maupun ‘umat Allah yang baru’ (gereja); seakan-akan duabelas di antaranya berasal dari Israel dan duabelas yang lain dari jemaat Kristen. Di hadapan Allah, mereka tampak selalu menyembah Dia, bersama-sama dengan para penyembah lainnya, semua makhluk hidup dan para kherubim (4:4, 10; 7:11, 13).
Arti ‘meterai’ (sfragis, sfragidos) dalam pasal 6 dapat dilacak dari penggunaannya dalam pasal 5, yaitu untuk memeteraikan gulungan kitab (5:1). Pada masa itu, Kitab Suci terbuat dari gulungan papirus. Namun, Kitab Suci yang disebutkan oleh penulis Wahyu merupakan buku yang istimewa, karena ditulisi di sebelah dalam dan di sebelah luarnya. Lazimnya, gulungan papirus hanya ditulisi di salah satu sisinya. Kalau sisi yang lain juga ditulisi, kemungkinan karena bahan yang harus ditulis demikian banyak, sehingga tidak cukup ditulis di satu sisi saja, atau, kalau tidak, mungkin sisi yang lain ditulisi dengan judul kitab itu. Kalau gulungan kitab itu ditulis di kedua sisi dan kemudian disegel dengan tujuh meterai, tentu kitab itu merupakan dokumen yang tidak lazim dan amat penting. Lazimnya, dokumen yang dimeteraikan merupakan wasiat, yang hanya boleh dibuka oleh ahli waris yang berhak. Dengan membuka segelnya, si pewaris menunjukkan haknya atas kekayaan yang termuat dalam wasiat itu. Karena Kristus sendiri yang berhak membuka meterai gulungan kitab itu, maka Dialah sesungguhnya pewaris wasiat Allah, yang diberi kuasa untuk memerintah semesta alam melalui karya penebusan-Nya. Semesta alam yang selama ini dirampas oleh Iblis, kini diambil alih oleh Yesus, sebagai ahli waris yang berhak.
rupanya yang dimaksud dengan ‘dua saksi’ tersebut adalah Musa dan Elia. Wahyu 11:6 mengingatkan kita pada cerita keluaran dari Mesir, tatkala Allah menimpakan bala atas Firaun dan bangsa Mesir; sedangkan Wahyu 11:12 mengingatkan kita pada pengalaman Elia dalam 2 Raja-raja 2:11. Dugaan ini diperkuat dengan Maleakhi 4:4-6 yang menyebutkan kedua tokoh ini sebagai teladan bagi umat Israel, yang sedang mengalami dekadensi moral.
Kita temukan dua gambaran tentang ‘perjamuan,’ yaitu dalam Wahyu 19, ayat 9 dan 17. Kedua perjamuan itu sangat kontras satu sama lain. Perjamuan pertama adalah perjamuan yang didasari kasih, sedangkan perjamuan kedua menggambarkan penghancuran akibat pemberontakan. Perjamuan pertama adalah perjamuan kawin Anak Domba yang disediakan untuk orang-orang kudus, sedangkan perjamuan yang kedua merupakan malapetaka bagi mereka yang menolak-Nya. Namun kedua perjamuan itu sama-sama merayakan kemenangan Kristus atas kuasa jahat.
Lambang ‘kilang anggur’ dalam 4:20 dan 19:15 diambil dari kehidupan sehari-hari, yang telah akrab bagi para pembacanya. Gambaran ini melukiskan penghancuran para musuh Allah. Sama seperti buah-buah anggur yang diperas dalam pengilangan, demikianlah musuh-musuh Allah akan dihancurkan dalam ketidakberdayaan. Sekalipun secara tidak langsung dapat dihubungkan dengan Yesaya 63:2-3, namun rupanya gambaran ini lebih didasarkan pada pengetahuan umum ketimbang pada PL.
‘Lautan api’ (19:20; 20:10, 14-15; 21:8) tidak memiliki kesejajaran dengan gambaran-gambaran dalam PL, namun berhubungan dengan tokoh-tokoh dalam mitologi dan literatur apokaliptik. Rupanya para pembaca Wahyu sudah akrab dengan kisah-kisah mitologis, sebagaimana terdapat dalam kitab Henokh. Penghukuman dengan lautan api merupakan gagasan yang sudah diterima dalam literatur apokaliptik. Kemungkinan gambaran ini diilhami oleh letusan gunung Vesuvius pada 79, yang aliran laharnya telah meluluhlantakkan kota Herculaneum.
‘Tahta putih yang besar’ (20:11) bukanlah gambaran yang diambil dari PL. Memang, Daniel 7:9 berbicara mengenai yang Lanjut Usia, yang pakaiannya putih bersih seperti bulu domba dan tahtanya dari nyala api, dan kitab Henokh berbicara mengenai gunung yang puncaknya sampai ke surga, seperti tahta Allah. Namun tidak ada hubungan langsung antara gambaran dalam kitab Wahyu dengan gambaran dalam kitab Daniel maupun Henokh. Yang jelas, tahta itu melambangkan kedaulatan, kuasa penghakiman dan hak prerogratif Allah. Warna putih menyimbulkan kekudusan-Nya, yang sama sekali kontras dengan kuasa jahat. Di samping itu, secara keseluruhan, lambang tersebut juga menyimbolkan keterbatasan pikiran manusia di hadapan Allah yang tak terpahami, serta kemenangan kebenaran dalam penghakiman akhir yang adil dan benar.
Kota Allah melambangkan komunitas umat yang berada dalam damai sejahtera dan kehidupannya tertata seturut dengan kebenaran Allah. Jadi, Yerusalem Baru adalah representasi umat Allah, yang satu sama lain dipersekutukan dalam damai sejahtera kekal.
Tugas
Baca materi dan buatlah rangkuman untuk dipelajari, setelah itu foto dan kirim melalui website
Tuhan Yesus memberkati
Comments